Sistem Perpajakan Untuk PBB

Advertisemen
Catatan  Tulus Imam Prasetyo*)
Pendahuluan
      
     Kewenangan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan & Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan dialihkan dari Pemerintah Pusat (baca: Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak) kepada Pemerintah Daerah Kementerian Dalam Negeri. Ini berarti bahwa PBB P2 dan BPHTB yang semula sebagai Pajak Pusat selanjutnya menjadi Pajak Daerah segera terwujud. Kelak kedua jenis pajak tersebut akan dikelola oleh masing-masing Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten/ Pemerintah Kota c.q. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) yang bersangkutan.

            Secara yuridis PBB P2 dan BPHTB itu telah dimasukkan atau dicantumkan dalam Pasal 77 dan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-Undang PDRD tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Sementara itu, untuk PBB P2 pengalihannya dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013, sedangkan untuk BPHTB paling lama satu tahun sejak berlakunya Undang-Undang PDRD tersebut, tepatnya 1 Januari 2011.


Topik Diskusi
            Berkaitan dengan kebijakan pemerintah tersebut di atas, banyak kalangan yang menjadikan kebijakan itu berikut permasalahannya sebagai topik diskusi aktual yang sehat. Diskusi seperti itu terjadi pada berbagai kesempatan, baik dalam forum formal maupun forum informal. Pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi tersebut terutama berasal dari Dispenda, instansi vertikal Ditjen Pajak, dan Balai Diklat Keuangan Balikpapan.
            Salah satu bahan diskusi yang mencuat adalah mengenai sistem perpajakan yang berlaku untuk PBB, Self Assessment System atau Official Assessment System.
            Dari diskusi yang berkembang tersebut, sebagian yang terlibat mempunyai pendapat bahwa sistem yang berlaku untuk PBB adalah Official Assessment System. Yang berpendapat seperti itu ada yang berargumentasi bahwa kenyataan selama ini Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB diterbitkan oleh fiskus dan SPPT itu merupakan produk hukum. Ada pula yang sekedar memberi alasan bahwa hal itu memang aturannya demikian.
            Sedangkan yang berpendapat bahwa PBB menganut Self Assessment System tidak memberikan argumentasi lengkap, hanya sebatas yang mereka pahami selama ini. Dinyatakan bahwa pada dasarnya sistem yang berlaku dalam perpajakan di Indonesia adalah Self Assessment System. Sebagian lagi atau yang lain menyatakan bahwa kedua sistem Official Assessment System dan Self Assessment System tersebut sekaligus berlaku untuk PBB. Tanpa memberikan alasan yang jelas.

Telaahan tentang sistem PBB
            Bertitik tolak dari diskusi yang berkembang, khususnya mengenai sistem yang berlaku untuk PBB, Penulis mencoba melakukan penelaahan mengenai hal tersebut. Hasil telaahan tadi Penulis tuangkan dalam tulisan berikut ini.
            Official Assessment System akan diterapkan oleh fiskus apabila Wajib Pajak tidak sepenuhnya menjalankan kewajiban perpajakannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sistem perpajakan termasuk PBB berawal dari keharusan Wajib Pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri, ini berarti Self Assessment System lebih dulu digunakan sebelum Official Assessment System. Dengan demikian, apabila Self Assessment System dijalankan oleh Wajib Pajak dengan benar, maka Official Assessment System tidak mutlak harus diterapkan.
            Kewajiban pajak, sebagai pembanding, misalnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Pajak Penghasilan (PPh), berawal dari kewajiban Wajib Pajak mengisi dan melaporkan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) PPh-nya, baik SPT PPh Tahunan maupun SPT Masa PPh. Dari SPT itulah dapat diketahui besarnya pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib pajak.
            Demikian pula untuk PBB, kewajiban Wajib Pajak berawal dari mengisi dan melaporkan sendiri Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), sehingga dapat diketahui besarnya PBB yang harus dibayar sendiri. Seperti halnya PPh, PBB yang harus dibayar itulah yang disebut pajak yang terutang. Hal itu berarti Wajib Pajak telah menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Self Assessment System. Jadi, kalau Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri dengan benar mulai dari pengisian SPT/SPOP-nya sampai dengan pembayaran atau pelunasan sendiri pajak berdasarkan perhitungan sendiri di SPT/SPOP tersebut tepat pada waktu yang ditentukan, maka Official Assessment System tidak harus dioperasionalkan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan.
            Namun, apabila Wajib Pajak mengabaikan atau tidak menepati kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, tentu Official Assessment System akan diterapkan. Dengan demikian, kalau PBB yang harus dibayar atau yang terutang menurut SPOP (yang telah menjelma menjadi SPPT dan diidentik sebagai produk hukum) tidak atau belum dilunasi pada waktunya, dengan sendirinya PBB yang terutang itu akan berubah menjadi utang pajak, sekaligus menjadi dasar penagihan pajak.
            Sebenarnya, sistem yang berlaku untuk PBB tergambar dengan tegas dalam memori penjelasan atas konsiderans pada alinea kelima Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB. Dinyatakan bahwa: "Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan dan meningkatkan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat".
Pernyaaan itu menunjukkan bahwa PBB menganut Self Assessment System.
            Terdapat beberapa produk hukum untuk Pajak Daerah karena penerapan Official Assessment System, antara lain Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT). Produk-produk hukum tersebut merupakan dasar penagihan pajak.
            Lalu, mengapa selama ini PBB terutang yang menghitung (baca: menetapkan) fiskus yang ditandai dengan penerbitan SPPT itu? Menurut penelaahan Penulis, terdapat beberapa hal yang menyebabkan "deviasi" implementasi sistem di atas. Hasil telaahan tersebut dapat Penulis jelaskan beberapa hal yang dimaksudkan, yaitu:
1.        Tidak semua Subjek Pajak/Wajib Pajak bisa menghitung PBB Terutang baik secara teknis maupun administratif. Hal ini dapat diakibatkan antara lain:
a.    Minimnya informasi yang sampai ke Wajib Pajak tentang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOP TKP), Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), Tarif Pajak, dan sebagainya.
b.    Sangat terbatasnya pemahaman Wajib Pajak tentang tata cara untuk menghitung besarnya PBB yang terutang.
c.    Kurang intensnya pihak fiskus melakukan edukasi (baca: penyuluhan) kepada Wajib Pajak.
2.        Pada kenyataannya, banyak sekali objek pajak yang tidak mengalami perubahan datanya/mutasi, sehingga Wajib Pajak tidak (merasa) perlu menyampaikan SPOP lagi untuk tahun-tahun pajak berikutnya.
3.        Mengingat jumlah Wajib Pajak PBB sangat banyak dan penyebarannya sangat luas sampai jauh, maka perlu dipertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi dalam segala hal.
4.        Selain faktor-faktor tersebut (butir 1, 2, dan 3 di atas), selama ini pihak fiskus telah memiliki fasilitas dan sistem yang memadai, sehingga SPPT dapat diterbitkan secara massal dan serentak dengan mudah oleh fiskus.

Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas mengenai sistem perpajakan yang berlaku untuk PBB, Penulis dapat menyimpulkan
1.        Pada dasarnya PBB menganut Self Assessment System.
2.  Apabila Wajib Pajak tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan Self Assessment System, maka Official Assessment System diterapkan.
3.        SPPT diterbitkan oleh fiskus.
4.        SPPT dapat diidentikkan sebagai surat ketetapan pajak.

Daftar Pustaka
1.        Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB.
2.        Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD.






 

Penulis.
Tulus Imam Prasetyo
Widyaiswara Madya
BDK Balikpapan




Advertisemen

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments

Perbedaan Hadian Objek PPh ps. 4 ayat (2) , ps. 23 dan ps 21

Hadiah (reward) yang dibayarkan atau terutang kepada subjek pajak dalam negeri merupakan objek PPh potongan dan pungutan. Dalam artikel kali...

© Copyright 2017 Coretan Anak Bangsa.... - All Rights Reserved - Distributed By Artworkdesign - Created By BLAGIOKE Diberdayakan oleh Blogger